Saturday, November 1, 2008

Anjing Kudisan
(Jakob Sumardjo)


Akhirnya rahasia perselingkuhanku terbongkar oleh keluarga. Topeng kemunafikan yang selama ini kupakai, menguakkan bopeng-bopeng di wajahku. Seluruh keluarga sakit hati akibat perselingkuhanku dengan anak gadis adik temanku sendiri. Terutama istriku, dia amat terluka. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri. Tiba-tiba aku menjadi manusia yang bobrok dan busuk di tengah-tengah keluarga, terpuruk di lembah kekacau-balauan. Ternyata, untuk berselingkuh, memerlukan kiat-kiat dan staregi yang profesional. Diperlukan juga semacam ketegaran dan ketegasan dalam hal ilmu dusta, dan aku kurang terlatih dalam perkara ini.

Sebagai manusia yang jiwanya terjangkit kusta, maka aku menjadi manusia terbuang. Aku ditolak memasuki rumah sendiri. Kalaupun berhasil masuk, Istri dan keempat anakku langsung masuk kamar mereka dan menguncinya dari dalam. Atau mereka membiarkan aku dengan cara membisu satu sama lain, sehingga rumah menjadi seperti neraka bagi kami semua. Menyadari sebagai manusi najis, maka sepulanh dari kantor, aku selalu pulang malam dan lansung menuju rumah kosong di kompleks perumahan kami.

Rumah itu sudah lebih dari sepuluh tahun tidak dihuni oleh pembelinya. Dua daun pintunya telah rusak, tetapi di dalam masih ada sebuah kamar yang cukup hangat. Rasa dosa terhadap keluarga yang menjadikan diriku begitu kotor dan hina telah mempermudah untuk hidup dirumah kosong yang bobrok itu. Hidupku menjadi terbiasa dengan segala yang hina dan rendah. Segala yang kotor dan menjijikan. Semua itu dapat aku terima sebagai hukuman yang sepadan dengan segala perbuatanku selama ini. Aku merasa lebih rendah dari sekor anjing kudisan yang dibuang majikannya. Dan memang, ke dalam rumah itu, sering datang seekor anjing untuk tidur di situ. Mula-mula ia agak takut kepadaku, tapi karena aku bersikap ramah terhadapnya, maka ia menjadi jinak dan akhirnya kami menjadi semacam sahabat yang sama-sama hina, najis dan terbuang. Kalau aku terlelap tidur, kadang anjing itu kudapatkan tidur melingkar di arah kakiku. Karen aku jarang mandi, dan memang sudah tidak berhasrat lagi untuk merawat diri lagi, akibat perasaan hina seolah tak tertebuskan itu, yang telah menyebabkan seluruh keluargaku sakit hati oleh kelakuanku, maka bau badan dan bajuku tak jauh beberda dengan anjing. Prengus.

Pada suatu malam aku pulang ke rumah yang bobrok yang terpencil itu, dengan kepala yang pusing yang sudah beberapa hari ini menyerangku. Seluruh badan terasa panas. Demam. Menggigil. Udara dingin dalam kamar kosong yang berantakan itu tak kuasa meringankan panas badanku. Seluruh tubuh sampai jeroanku terasa panas membakar. Mungkin inilah saat-saat ajalku. Teteapi aku belum mau mati, karena rasa hina belum juga hilang dari jiwaku. Sebentar-sebentar mataku berkunang-kunang. Bau anjing amat kuat memenuhi ruangan. Tembok kamar yang gelap itu seperti miring mau menghimpitku. Lampu-lampu rumah tetangga yang agak jauh terlihat menari-nari. Terdengar salak anjing di kejauhan. Kamar gelap itu tiba-tiba terasa berputar. Akirnya, aku menyerah dan pasrah pada keadaan. Apapun yang terjadi, terjadilah. Juga mati sekalipun. Hal ini jiwaku sedikit tenang, tetapi panas badan dan pusing yang amat sangat masih terasa. Kepala semakin berat. Memberat. Akhirnya hanya kegelapan dan semacam ketidak sadaran menenggelamkan diriku. Kira-kira tengah malam aku hendak terbangun, antara sadar dan tidak sadar. Aku sekilas tahu bahwa aku berada di kamar sebuah rumah kosong. Tetapi tiba-tiba aku tenggelam lagi dalam dunia yang kukenal dan tak aku kenal. Tubuhku terasa sulit digerakan. Aku berhasil memicingkan mata, dan kulihat anjing itu melingkar tidur disampingku. Aku berusaha menggerakan badanku untuk membangunkan anjing itu, tetapi tak bisa. Berkali-kali kucoba, tak pernah berhasil. Rasa putus asa menyebabkan aku menyerah kepada keadaan. Aku tenggelam. Kegelapan. Demam. Berputar. Membisu menyerah. Tulang-tulang seperti terasa remuk.

Angin pagi terasa lembut menyentuh badanku. Aku menggeliat bangun. Pusing dan demam telah hilang sama sekali. Badan juga terasa ringan. Seolah drah segar telah dipompakan memasuki urat-urat nadiku. Kugerakan tanganku, menyentuh tembok dan suara garukan ringan terdengar. Lho, tangan yang tadinya kaku, masih terasa agak kaku, tetapi betapa kecil tangan ini dan berbulu hitam. Aku berdiri mendadak, dan lho, tidak bisa berdiri keatas. Kaki dan tanganku dipaksa memijak lantai. Kulihat sekeliling kamar yang kemarin-kemarin juga. Dalam kekagetan dan rasa cemas aku berusaha berbicara sendiri, yang hanya dengus anjing dari hidungku yang telah berubah menjadi anjing. Dan benar saja, anjing teman tidurku itu, telah juga terbangun. Ia mengibaskan ekornya. Kemudian menciumi mulutku. Bau anjing. Aku baru sadar bahwa anjing yang selama ini menemaniku tidur adalah anjing perempuan. Naluri kelaki-lakianku menggerakan hormon-hormon di sekitar alat kelaminku, persis sewaktu aku berpuluh-puluh kali menghadapi gadis tema selingkuhku. Heran, perasaan hina dan najis, rendah dan tak berarti rasa berdosa tak ada lagi. Semuanya itu boleh jadi seperti apa yang aku butuhkan. Syukurlah aku telah menjadi anjing. Tidak apa-apa, salkan tetap anjing laki-laki.

Anjing perempuan it trlihat manis juga. Malah menggairahkan. Selama ini aku hanya melihatnya sebagai seekor anjing, tetapi sekarang kulihat perbedaanya secara nyata. Ia benar-benar seksi. Perutnya masih langsing mengikuti gerak parabola ke arah pahanya yang kukuh. Naluri lelakiku megatakan bahwa dia masih perawan. Putting-putting yang banyak itu nampak membengkak. Dan, aduh-aduh, yang itu bengkak mekar. Naluri keanjinganku selama in hidup kembali dengan gairah menyala-nyala. Aku memang sudah anjing, dan sekarang anjing beneran. Tunggu apa lagi, aku mendekatinya dan menjilatinya…

Kami berbaring lemas berdampingan di kamar kosong itu. Betapa dahsyat menjadi anjing. Belum pernah aku menggauli perempuan dapat begitu lamanya. Dunia manusia memang berbeda dengan dunia anjing. Juga dalam kehidupan perkelaminannya. Tidak ada manusi yang mampu berbuat seperti anjing dalam perkara yang satu ini. Benar-benar menguras tenaga. Dan itulah pengalaman pertamaku sebagai anjing. Sebenarnya bukan pengalaman pertama juga, sebab ketika menjabat sebagai manusia, tabiat seperti itu sudah sering aku lakukan berkali-kali pula. Hanya intensitasnya yang berbeda. Batas antara anjing dan manusia, dalam hal ini, kukira, tak jauh berbeda.

Perut terasa kosong. Anjing perempuanku itu mengajaku keluar untuk acr makan. Tetapi aku menolaknya. Akiu baru mau keluar kalau hari sudah gelap. Sebagai anjing baru, aku masih cukup kuat rasa malunya. Perasaan berdosa memang sudah tak ada padaku, tetapi malu terlihat sebagai anjing masih ada. Rupanya perasaan bersalah itu pula yang menyebabkan aku bermetamorfose menjadi anjing sungguhann. Maka aku izinkan anjing perempuanku keluar mencari makanannya sendiri. Aku mmlih tidur di pojok kamar.

Ketika hari sudah gelap, aku terbangun. Anjing perempuanku belum juga pulang. Aku beranikan diri keluar rumah. Badan kugerakan kuat-kuat, kepala kukibas-kibaskan, terasa enakan. Udara dingin telah menjalari seluruh kompleks perumahan. Aku berlari-lari anjing menuju jalan besar. Jalanan sepi. Kulihat beberapa ekor anjing sesamaku berlari-lari menuju ke arah bawah perumahan. Memang, di sana ada tempat pembuangan sampah, aku berlari mengikuti mereka. E, anjing-anjing itu bukannya menari makan di tempat sampah. Mereka mengerubuti anjing perempuanku. Rupanya ini memang musim kawin anjing. Melihat aku datang, anjing lelaki itu menggeram padaku. Kaget dan kehilangan nyali pula aku, pada awal mulanya. Segera aku sdar bahwa aku anjing mantan manusia. Pendidikan S-1. dan aku bekas murid persilatan gaya Cikalong. Anjing-anjing tak berpendidikan itu tentu bukan apa-apa bagiku.

Benar saja, begitu aku mendekati mereka, dua ekor anjing berlari menyerangku. Ilmu silatku kugunakan. Aku mengelak untuk membanting anjing-anjing itu, mereka terjerembab oleh kekuatnya sendiri yang penuh nafsu mereka kerahkan. Begitu terjerembab, aku gigit tengkuk mereka. Anjing-anjing itu berlarian menjauh. Begitu pula dengan anjing-anjing yang lain. Anjing perempuanku melirik padaku sembari menyantap sisa mie Jawa di tempat sampah. Rupanya diam-diam ia membanggakan diriku sebagai pelindungnya yang sejati. Ia mendengus menciumi hidungku. Selesai menghabiskan makanan, ia aku suruh pulang duluan. Anjing-anjing lekai itu tentu tak akan berani menggagunya lagi.

Tempat sampah memang gudang makanan. Di situ kudapatkan sisa sate dan gulai yang menjadi makanan kegemaranku ketika masih menjabat sebagai manusia. Memang da kios roda sate dan gulai di perempatan perumahan. Setelah kenyang makan enak, aku sengaja lewat di depan rumahku dahulu. Terharu juga melhat rumah itu. Di dalam ada istri dan anak-anakku yang selama itu mempercai dan menghormatiku, sampai saat terbongkarnya penyelewenganku. Rumah itu tampak tenang dan damai. Rupanya mereka telah merelakan kehilangan suami dan ayah yang bejat seperti diriku. Aku buang kenangan itu. Aku kembali menyadri bahwa aku kini anjing.

Sambil berlari-lari kecil aku melewati rumah Pak Beni. Tiba-tiba aku mencium aroma anjing perempuan yang sedang berahi.

Aku ingat, Pak Beni memang beberapa bulan yang lalu membeli anjing ras. Semakin dekat rumah Pak Beni, semakin keras aroma itu merangsang naluri kelakilakianku, dan benar saja, anjing perempuan itu berada di halaman belakang. Ketika aku mencari jalan menerobos masuk ke halaman belakang itu, tiba-tiba segerombol anjing lelaki menerobos keluar melaluiosela-sela pagar. Rupanya, mereka adalah anjing-anjing di tempat sampah itu. Dengan lenggang gagah aku dekati anjing perempuan jenis Rottweiler yang berhidung pesek itu. Meskipun hidungya pesek, tapi anjing perempuan itu nampak sehat dan kuat. Kamipun segera terlibat permainan kelamin.

Heran juga, begitu kuat aku sebagai anjing jantan. Dalam sehari telah dua anjing kugauli.
Dan tak ada rasa berdosa sama sekali. Semua berjalan wajar-wajar saja. Malah membanggakan. Di kalangan bangsa anjing, rupanya tak ada kamus selingkuh. Selingkuh itu hanya ada pada dunia manusia. Itu karena manusia menjunjung tinggi apa yang mereka sebut nilai-nilai. Antara lain nilai perkawinan. Selingkuh itu erat hubungannya dengan nilai perkawinan. Perjanjian suci perkawinan antara manusialah yang menyebabkan timbulnya rasa bersalah pada perselingkuhan. Manusia bujagan tidak pernah dinilai selingkuh meskipun di aberkali-kali mengauli banyak perempuan seperti yang dilakukan bangsa anjing.

Dengan langkah-langkah gontai aku pulang ke rumah. Lemas tapi puas. Kutemui anjing perempuanku sedang tiduran. Mendengar kedatanganku, dia terjaga sebentar dan membaui apa yang telah aku lakukan barusan. Dia cuek-cuek saja. Itu sudah tabiat anjing lelaki, mungkin begitu pikirnya. Aku mendesakan diriku pada anjing perempuan itu, dan tidur berdampingan. Inilah kebahagian menjadi anjing.

Hari-hari berikutnya, tak ada yang harus dikerjakan bangsa anjing. Anjing tak perlu bekerja. Kerjanya hanya mencari makan dan perempuan. Hampir semua anjing perempuan di kompleks itu telah kugauli, baik yang pernah punya anak maupun yang perawan. Semuanya aku lakukan pada malam hari. Memang pernah juga siang hari, akibatnya kami ketahuan dan kepergok anak-anak. mereka melempari kami dengan batu. Beberapa bagian badanku dan kepala memar dan luka-luka.

Luka-luka itulah yang kemudian membuatku mengalami demam tinggi dan pusing lagi. Seperti kemarin dulu ketikak aku metamorfosa menjadi anjing, begitu pula kini kurasakan. Seluruh badanku ngilu. Mata penuh kunang-kunang lagi. Perut terasa mual yang amat sangat. Lampu tetangga bergoyang-goyang. Berputar. Tembok doyong mau roboh. Gelap, pekat. Putaran semakin deras. Menyerah kalah. Gelap. Gelap. Sunyi. Sulit bergerak. Seluruh tulang seperti kaku. Terasa aku punya tangan dan kaki lagi yang dapat berdiri, tetapi sulit sekali tangan dan kaki ini digerakan. Aku memicingkan dalam kesekan nafasku. Sekilas kulihat anjing perempuanku merintih menangisi diriku. Seperti takut aku tinggalkan. Aku menyadari, bahwa kala saja aku dapat berteriak dan sekuat tenaga menggerakan kaki atau tanganku, maka aku sebagai manusia kembali.

Tetapi mengapa belum aku lakukan juga?

No comments: